Cerpen Bagian Satu
Aku tidak pernah merasakan sesuatu yang istimewa yang menyelinap diantara persahabatan kami. Tidak. Tidak pernah sedikit pun. Meski beberapa teman dekat perempuan selalu beranggapan, tidak ada yang murni dalam persahabatan diantara laki-laki dan perempuan.
Yah mungkin.
Tapi tidak dengan persahabatanku dengan Adit. Titik.
Selama hampir lima belas tahun bersama, menikmati tawa canda dan melalui derai air mata. Kami selalu berdua. Aku dan Adit. Adit dan aku. Yeah, selain dengan Adit tentu saja aku juga mempunyai beberapa teman dekat perempuan, begitu juga Adit mempunyai beberapa teman laki-laki, tapi mereka selalu berganti setiap waktu. Tetapi tetap saja Adit yang nomor satu, tak ada rahasiaku yang Adit tidak tahu, tidak ada rahasia Adit yang tidak kutahu. Kami bahkan merasa kadang satu pikiran, satu perasaan. Tapi itu bukan cinta, lebih murni dari itu, lebih mengikat dari itu.
Lima belas tahun bukan waktu yang singkat. Kami tumbuh bersama, saling melengkapi, saling menopang dalam keadaan timpang. Kami tak bisa hidup tanpa satu sama lain. Aku membutuhkan Adit, Adit membutuhkan aku.
“Jadi, kenapa kalian tidak pacaran?” tanya Fita tajam di suatu sore di kamar kosnya.
“Pacaran?’
“Ya... Kalau kau bilang kau tidak bisa jauh dari Adit, begitu juga dia. Kenapa kalian ngga pacaran?” kacamata Fita hampir melorot ke ujung hidungnya, itu kebiasaan dia kalau lagi serius.
“Aku tidak bisa...” sahutku jengah, berusaha mengalihkan perhatian pada novel yang sedang kubaca.
“Ah, kalian hanya belum menyadarinya...” Fita sedikit mengejek.
Aku menatapnya culas.
“Tau tidak? Cinta selalu datang pelan-pelan, menyelinap, lalu menggerogoti dan tiba-tiba kamu sudah dikuasainya...”
“Aku dan Adit tidak seperti itu..” tangkisku cepat.
“Ya..ya, kita lihat saja nanti...” balas Fita.
“Aku lebih suka begini...” kataku pelan. Betulkah? dalam hati bimbang bertanya, bagaimana hatiku ini, jika suatu waktu, emm, bukan, mungkin dalam waktu dekat, Nadia, perempuan yang dikagumi Adit juga membalas kekaguman Adit juga, lalu mereka pacaran. Waktu Adit akan tersita untuk Nadia. Semua hal yang biasa dilakukan Adit denganku akan berubah total. Aku sedikit resah.
“Tunggu saja hormon-hormon di tubuhmu akan merespon kalau kau dan Adit tiba-tiba bersentuhan atau...”
“Stop!” potongku jengkel. “Hey, gadis berkacamata! Dengar ya.. Aku tidak pernah merasakan hormon-hormon atau apa pun itu, dikala aku bersentuhan dengan Adit, kami rutin berenang seminggu sekali, dan tentu saja aku pakai baju renang, dan kami kadang saling bersentuhan... tidak pernah ada perasaan apa-apa, hormon-hormon bodoh, tidak pernah!”
“Ya, itu kan kamu, Bagaimana dengan Adit? dia toh kan laki-laki...” serang Fita lagi.
“Aku yakin dia juga tidak..” sahutku, tapi demi tuhan, anak kecil pun akan tahu kalau aku menjawab dengan suara yang tidak yakin,
Fita nyengir kuda.
Aku melempar bantal besar kearahnya.
Aku masih ingat betul. Kejadian lima belas tahun lalu di satu tempat pemandian umum, kolam renang. Aku waktu itu umur enam tahun, dengan diantar Mama bertekad bulat untuk bisa berenang. Mama akhirnya mengijinkan aku mengikuti les renang pada seorang guru renang perempuan yang cantik dan baik hati. Ibu Ira. Dengan jadwal tiga kali dalam seminggu, Ibu Ira yang baik hati itu memperkirakan aku akan pandai berenang dengan dua gaya renang dalam satu bulan. Mama yakin aku pasti bisa.
Kami datang sepuluh menit lebih awal dari jadwal les. Mama bilang, selain aku, pasti juga banyak anak-anak lain yang akan les berenang sama Ibu Ira hari ini. Mama menyarankan agar aku berteman dengan beberapa diantara mereka, agar acara les renang jadi lebih menyenangkan. Tentu saja dalam hati aku berkata, tanpa berteman pun, les renang ini akan menjadi sangat menarik. Tapi menuruti kata Mama ada benarnya juga, pikirku.
Aku begitu bersemangat.
Selain aku, sudah ada tiga anak yang lain menunggu di tepi kolam renang. Satu perempuan, sudah besar, mungkin kira kira sudah SMP, aku menatap heran, ada ya anak SMP yang tidak bisa berenang? Lagian dia sibuk dengan hp di tangannya, nggak akan bisa diajak berteman, kataku dalam hati. Satu anak laki-laki, kira-kira sebayaku, genduuuuuut sangat, dan dia sedang asik makan mie goreng dari kotak tempat bekalnya, aku tidak bisa mengganggu si tukang makan ini, pikirku. Tinggal satu orang, laki-laki, seumuranku, yang sedang menyender lemas disamping Mamanya, aku melirik sebal, manja banget ni anak. Ah, aku enggak akan cocok berteman dengan dia, pikirku sebal.
Jadi aku duduk saja diantara cowok gendut dan cowok lemas itu. Mama sedang ganti baju renang, kata Mama, selama mengantar aku les, Mama juga mau berenang, sayang tiket masuk ke kolam renang kalau tidak dimanfaatkan.
“Nah, Mas, itu ada temen baru...” kata Mama si cowok lemas itu sama anaknya. “Halo Sayang, mau les berenang sama Ibu Ira ya?”
“Iya, Bu..” sahutku sopan, tak lupa memamerkan senyum manis.
“Sendirian? Mamanya mana?” tanya ibu itu lagi. sementara si cowok lemas dengan malas memandang kearahku.
“Lagi ganti baju, Bu...” aku mencuri pandang ke cowok lemas itu, yak ampun, punya tulang gak sih lo? dalam hatiku.
“Nah, Mas Adit, ayo kenalan sama Mbak yang manis ini...” ibu itu dengan paksa mendorong tubuh si cowok manja itu mendekat ke arahku. Akhirnya dengan gerakan yang slow motion, dia mengulurkan tangan ke arahku, “Adit Arya”
Suaranya dingin banget. Aku enggak pernah denger suara anak laki-laki seumur dia begitu berwibawa menyebut namanya. Kutatap sekilas matanya, entah kenapa, matanya seperti tak menyimpan cahaya. Jauh, dingin, sepi.
Karena teringat pesan Mama untuk mencari teman, aku mengenyahkan seluruh perasaan jengkel dan sebal pada cowok di depanku ini, dan dengan semangat menyambut tangannya.
“Andhara ,”
“Nah udah jadi teman deh..” lega banget suara si Ibu itu. Aku melempar senyum persahabatan ke arah Adit yang dibalasnya dengan senyum terpaksa.
Iiih, Bu Ira ini lama banget datangnya...
Beberapa anak datang lagi. Suasana jadi rame, tapi aku hanya diam sambil memamerkan senyum paling manis, tapi tidak ada seorangpun yang perduli, mereka sudah saling kenal sebelumnya, mereka sudah saling kenal dengan akrab. Jadi hanya aku dan Adit yang murid baru hari ini. Dan pertemanan kami mulai dari situ. Adit yang semula pendiam dan tertutup, lama-lama mulai tertular sifat periangku. Mama senang aku cepat dapat kawan.
Tapi setelah tiga minggu dari perjumpaan pertama kami, baru aku tau, Ibu yang selalu mengantar dia les berenang itu ternyata bukan ibunya, tetapi pengasuhnya.
Deg! Aku terkejut tidak menyangka.
Tatapan mata yang begitu tulus dan sepenuhnya mencintai itu ternyata datang dari seorang pengasuh.
“Mamaku sibuk, Ra. Jarang ketemu. Bu Umi lebih cocok jadi mamaku kan, Ra?”
Sejak saat itu, aku merasa bersyukur aku punya Mama yang bisa setiap saat aku lihat dan aku peluk.
To be Continued....
Komentar
Posting Komentar